Sebuah Pelajaran dari Pemilu 2024

Suara Senar Nirwana ⑇
8 min readFeb 16, 2024

Sungguh jarang sekali aku menggunakan platform pribadiku ini untuk berbicara tentang politik — hanya ketika isu itu benar-benar menggelitik lah aku terdorong untuk menggunakan platform ku yang kecil ini untuk berbagi pendapat, sudut pandang, dan sikap. Salah satu sikap yang ingin aku nyatakan dengan tulisan ini: aku tidak akan diam & akan lebih berisik dalam mendukung kebijakan yang benar dan baik dari berbagai sudut pandang hukum, ekonomi, ataupun sosial — dan begitu sebaliknya akan mengkritisi kebijakan yang secara data tidak masuk akal atau berpotensi tidak membawa kebaikan bagi masyarakat luas.

Pemilu 2024 sungguh membuka mata — mungkin terdukung oleh kenyataan bahwa ini adalah pemilu kedua bagiku ketika aku sudah memiliki privilese untuk menyelesaikan pendidikan sarjana, bahkan didanai negara untuk menempuh pendidikan lebih tinggi. Aku pun memiliki privilese untuk dikelilingi oleh teman-teman yang vokal memberikan pendapatnya sehingga aku bisa mempelajari beragam sudut pandang. Usai pemungutan suara 14 Februari 2024 kemarin, beberapa pendukung 02 yang melabeli dirinya sebagai “silent majority” bermunculan dan ini merupakan fenomena yang menarik untukku. Pada saat ini juga, beragam opini tentang pendukung 02 bermunculan dan memberikan sudut pandang baru bagiku.

Diskursus antara mereka yang ‘terdidik’ dan ‘tidak terdidik’.

Ini sungguh menggelitik bagiku karena mulai bermunculan ejekan di twitter yang berbunyi “iya deh si paling intelek” yang kerap ditujukan pada mereka yang mendukung 03, terutama 01. Dari hematku, ejekan ini bermula dari opini yang memilih paslon yang tidak sesuai pilihannya itu ‘bodoh’, ‘minim literasi’, atau ya ‘pendidikan rendah’. Rasanya kasar sekali hal ini diutarakan tetapi tidak bisa dinegasi begitu saja.

Sumber: OECD (2019) dalma laporan BRIN (2022)

Literasi Indonesia masih jauh di bawah jika dibandingkan dengan rata-rata negara OECD (lihat grafik). OECD menyebutkan bahwa literasi adalah salah satu kemampuan yang sangat penting bagi kehidupan selepas sekolah (Baca di sini untuk artikel OECD). Di Indonesia sendiri, barulah kurikulum merdeka yang memberikan titik perhatian lebih pada literasi dan ini baru diimplementasikan secara bertahap mulai pada tahun 2021 dan direncanakan untuk diterapkan secara serentak di seluruh Indonesia pada tahun 2024 (sumber: Media Indonesia). Artinya, sangat wajar jika generasi yang sudah memilih sekarang digaungkan termasuk dalam golongan yang literasinya rendah. Don’t take it too personal, because the blame is not on you. Jangan merasa ini personal karena kesalahannya bukan pada masyarakat, melainkan pada pemerintah dan sistem pendidikan kita yang masih jauh tertinggal.

Sebagai seseorang yang sedang menempun studi di Swedia sekalipun, aku merasa bahwa literasiku memang masih rendah jika dibandingkan dengan teman sekelas — aku perlu berusaha ekstra. Literasi bukanlah sekedar kemampuan membaca atau hobi membaca — literasi dalam hematku adalah kemampuan untuk memahami dan berfikir secara kritis akan hal yang kita baca. Kerap dalam diskusi di kelas, ketika kami mengkritisi sebuah jurnal atau publikasi, teman-teman sekelasku dapat menemukan poin-poin diskusi yang tidak aku kritisi dari sumber bacaan yang sama. Hal ini membuat aku tersadar bahwa pendidikan ku selama 15–16 tahun di Indonesia masih memerlukan aku untuk berusaha lebih keras jika dibandingkan dengan teman-temanku yang datang dari negara lain.

Yes, bisa saja memang ada orang yang secara sadar malas untuk membaca, tetapi ini bukan berarti sistem pendidikan tidak berkontribusi besar. Kerap, untuk meningkatkan literasi, pengenalan literasi, baca — membaca, sudah seharusnya dikenalkan sejak dini dan pendidikan formal lah yang seharusnya memegang andil besar di sini. Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’, dimulai dengan menyusun kurikulum yang memberikan insentif untuk lebih membaca. Tak terbatas sampai di sana, pemerintah juga sangat bisa seharusnya pada masa kampanye kemarin memberikan insentif untuk para calon memilih untuk membaca. Mungkin sudah ada banyak medianya, tetapi lagi, masyarakatnya belum tergerak untuk membaca.

Maka, untuk kalian yang memiliki privilese untuk suka membaca, suka mengkritisi, dan telaten dalam mencari tahu fakta data, jangan diam. Kontribusi sangat bisa dimulai dengan berbincang dengan orang sekitar, dengan orang sekeliling yang mungkin tidak terbiasa membaca, tapi mau mendengarkan orang terdekatnya.

Silent Majority vs Noisy Minority

Satu hal terbesar yang sangat aku sayangkan dari terminologi ini adalah kenyataan bahwa terminologi ini ‘coined’ atau setidaknya masif tersebar dari salah satu figur politik yang banyak dikenal oleh masyarakat. Aku adalah salah satu dari yang disebutkan sebagai ‘noisi minority’ — orang yang katanya kerap berisik beropini sehingga terlihat seperti mayoritas padahal sesungguhnya hanya sedikit jika dibandingkan dengan mereka yang mayoritas yang tidak terlihat karena menjadi ‘silent majority’.

Banyak di Twitter berseliweran yang mengatakan bahwa para ‘silent majority’ ini sesederhana malas untuk memperdebatkan pilihan dia dan orang lain mengingat pilihan pada perpolitikan adalah hak individu yang tidak perlu digubris oleh orang lain. Kerap, mereka menjadi ‘silent majority’ juga karena tidak ingin pilihannya dipertanyakan oleh orang lain, masih dalam argumen yang sama: setiap orang berhak memilih apapun alasannya. Hal ini setengah benar setengah salah dalam hematku.

Benar bahwa setiap orang memiliki pilihannya, setiap orang memiliki haknya untuk memutuskan, dan setiap orang memiliki sudut pandangnya. Salah bahwa setiap orang cukup memilih dan diam — agar cukup menghargai pilihan orang dan tidak perlu diperdebatkan. Salah bahwa setiap orang cukup berada dalam haknya untuk memiliki sudut pandang dan tidak perlu mendengarkan apa yang orang lain katakan. Jika hal ini yang akan dibawa dalam bernegara, wajar saja jika bobroknya kebijakan pemerintah baru akan terlihat ditengah jalan — masyarakatnya saja malas diajak berdialog.

Tidak ingin berdebat, tidak berdiskusi, tidak berpendapat merupakan satu hal yang dalam hemat ku seharusnya tidak dibiarkan dalam berdemokrasi, berpolitik, bernegara. Perlu diterangkan bahwa berdebat, berdiskusi, dan berpendapat tidak sama dengan tidak menghargai pendapat / pilihan orang lain. Berbedat, berdiskusi, dan berpendapat justru akan memperkaya opini diantara orang-orang yang terlibat. Pun dalam bernegara, mendebat dan mendiskusikan kebijakan pemerintah adalah satu hal yang penting agar kita bisa bersama-sama menjaga kepentingan bernegara untuk kemaslahatan seluruh umat.

Berdemokrasi bukan sekedar memberikan pilihan dibalik bilik suara — lebih dari itu, berdemokrasi juga berarti ikut turut serta secara aktif mengiringi jalannya pemerintahan dari kapasitas yang kita miliki, termasuk mengkritisi. Jika dalam pemilu saja tidak ingin berpendapat atau tidak ingin pendapatnya dikritisi, bagaimana kita menjamin masyarakat yang berani menyuarakan pendapat atau opininya terhadap kebijakan pemerintah? Jika kebijakan pemerintah tidak melibatkan partisipasi aktif opini dari masyarakat, bagaimana kita menjamin kebijakan pemerintah berada dalam koridor yang berpihak pada masyarakat? Pemerintah sangat bisa dikatakan sebagai tidak adil jika memutuskan sesuatu yang berkaitan dengan negara dan rakyat tanpa pelibatan partisipasi aktif masyarakatnya .

Aku harap, pendukung mereka yang terpilih ataupun bukan, kita bisa sama-sama berpartisipasi aktif dalam berdemokrasi: menjaga agar kebijakan pemerintah tetap berada pada koridor yang berpihak pada rakyat. Ingat bahwa salah satu slogan demokrasi adalah:

dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.

Platform Diskusi vs Joget Gemoy

Terakhir, sudut pandang ini didukung oleh pengalaman riset ku untuk memahami masyarakat dengan kelas ekonomi menengah ke bawah di Jakarta dalam pemahamannya terhadap isu lingkungan. Riset ini menggunakan metode kualitatif: in-depth-interview sebagai metode utamanya dan aku lakukan selama 6 bulan (belum selesai, akan dilanjutkan dalam thesis studi magisterku di 2025 mendatang). Hasil observasi ku pada saat itu memberikan aku hipotesis yang akan dites pada riset thesisku mendatang: masyarakat Indonesia masih terlalu miskin untuk peduli pada isu yang lebih fundamental.

Paslon 01 dan 03 keduanya memiliki 2 forum diskusi yang masing-masing dipimpin oleh capres atau cawapres. Desak Anies, Slepet Imin, Gelar Tikar Ganjar, dan Tabrak Prof! adalah wadah diskusi yang banyak dinilai sebagai wadah yang bagus untuk mempromosikan politik pada anak muda. Di wadah ini, beragam isu mulai dari inklusivitas, politik identitas, hingga pemerataan pembangunan ditanyakan dan dikritisi oleh siapapun dari beragam kalangan. Dari kampanye ini, hanya 02 yang tidak memiliki wadah diskusinya tersendiri. Alih-alih, 02 menggunakan joget gemoy sebagai sarana promosi utamanya termasuk dengan jargon ‘all-in’ atau lagu ‘Oke Gas Torang Gas’ untuk menarik pendukungnya. 02 juga kerap menggaungkan strateginya untuk memberikan makan siang gratis dan disokong oleh politisasi bansos yang dinyatakan sebagai ‘dikasih oleh Jokowi’ dan mendorong rakyat untuk mencoblos anaknya Jokowi: Gibran (baca di sini liputan Tempo). Dari hasil quick-count sementara, wadah diskusi yang dimiliki dua paslon capres-cawapres terbukti tidak lebih efektif jika dibandingkan dengan promosi makan siang gratis dan politisasi bansos — untukku, ini tidak sama sekali mengagetkan.

Sama seperti isu rendahnya literasi masyarakat Indonesia, hal ini tidak sama sekali merupakan kesalahan rakyatnya. Ada kegagalan di pemerintah yang terus membiarkan rakyatnya dalam kondisi demikian: mudah disuapi oleh bansos dan diiming-imingi sesuatu yang instan (makan siang gratis) agar mudah dimobilisasi pada masa kampanye. Buktinya? ya kampanye 2024 ini. Tidak bisa dipungkiri, rakyat Indonesia tidak semuanya sudah memiliki kapasitas untuk bisa memikirkan isu feminisme sehingga melihat urgensi untuk cuti melahirkan bukan hanya untuk perempuan saja. Rakyat Indonesia tidak semuanya sudah memiliki waktu yang cukup untuk berkontemplasi akan pentingnya penegakan hukum dan keadilan di negeri ini. Kenapa? karena yang masih meliputi pikiran mereka adalah: bagaimana mereka bisa memastikan keluarganya bisa makan esok hari, bagaimana mereka menjamin anak-anaknya bisa sekolah dengan baik esok hari, dan bagaimana mereka bisa memberikan kebutuhan primer yang cukup bagi orang-orang yang bergantung padanya.

Di sini lah, lagi-lagi, untuk kita yang memiliki privilege yang cukup sehingga dapat dengan nyaman membaca tulisan ini, jangan diam saja. Politik itu kotor karena yang bermain didalamnya adalah orang-orang yang kotor — dan banyak dari orang-orang yang bersih sudah malas duluan untuk berkecimpung di dalamnya. Betul, untuk berkontribusi langsung secara nyata parpol adalah salah satu jalan utamanya — yang sayangnya juga tidak jarang adalah tempat politik yang kotor. Tetapi, jika kita memiliki integritas yang baik, kuat, dan secara masif orang-orang yang ‘bersih’ terlibat aktif dalam berpolitik, maka bukan tidak mungkin kita mengembalikan perpolitikan menjadi sesuatu yang bersih. Terdengar terlalu utopis tetapi langkah kecil yang bisa kita lakukan adalah dengan keluar di sosial media dan keluar dari sosial media. Ranah menyebarkan informasi untuk saat ini ada beragam tempatnya.

My Two Cents on Makan Siang Gratis.

“bagaimana mereka bisa memastikan keluarganya bisa makan esok hari, bagaimana mereka menjamin anak-anaknya bisa sekolah dengan baik esok hari, dan bagaimana mereka bisa memberikan kebutuhan primer yang cukup bagi orang-orang yang bergantung padanya.”

Yes, tulisanku diatas mengkonfirmasi bahwa masih banyak sekali masyarakat Indonesia yang susah untuk makan, kekurangan gizi, dan terus berada pada lingkaran kemiskinan. I see it firsthand & I collected the data (qualitatively). Tetapi, aku masih tidak setuju dengan program makan siang gratis yang diusung oleh 02 karena program ini tidak akan membawa mereka keluar dari lingkaran kemiskinan, justru akan terus membiarkan mereka disana tanpa berusaha sendiri. Pemerintah akan terlalu sibuk ‘menyuapi’ dan tidak ‘memberdayakan’ — bisa ada satu tulisan tersendiri mengenai ini, tetapi kita tahan dulu sampai nantinya ada diskusi publiknya. Satu yang baru saja hangat diberitakan: Prabowo-Gibran akan mengurangi subsidi BBM untuk mendanai program makan siang ini (sumber liputan CNN Indonesia). Ini merupakan sebuah gerakan yang salah dalam hematku.

Dari pengalaman sebelumnya di Indonesia, ketika BBM naik, hal pertama yang langsung terasa bagi masyarakat adalah? Inflasi — harga sembako serentak naik, semua jadi mahal. Maka dalam hal ini, apakah memberikan makan gratis solusinya? you could argue, tapi aku berpendapat bahwa uang yang tadinya dialokasikan untuk subsidi BBM akan lebih berguna jika pemerintah gunakan untuk membuat sembako justru lebih murah dan mudah didapatkan — sehingga masyarakat dapat dengan sendirinya mengisi piringnya tanpa sekedar ‘disuapi’. Roda perekonomian pun akan bergerak dengan sendirinya karena ada insentif dari pemerintah yang mempermudah sembako dan harga kebutuhan primernya.

All in All,

Pemilu 2024 memberikanku banyak pengetahuan baru tentang perpolitikan di Indonesia. Terimakasih pada bijakmemilih.id yang menyediakan informasi mengenai paslon, partai, serta beragam hal berkaitan lainnya. Terimakasih juga pada Bocor Alus Politik Tempo serta podcast Apa Kata Tempo yang memberikanku pandangan serta temuan tentang kondisi perpolitikan Indonesia sekarang. All in — aku tidak akan diam saja dalam isu perpolitikan Indonesia sekarang. Meski studi dan bidangku besar porsinya dalam isu lingkungan, politik adalah hal yang memegang porsi cukup besar dalam isu tersebut.

Salam,
Aninda — Warga Indonesia Biasa.

--

--

Suara Senar Nirwana ⑇

This is Anin’s public diary consist of her opinion, experience, and thoughts.