Menempuh Studi di Luar Negeri Membuat Aku Sadar Betapa Tertinggalnya Pendidikan di Indonesia.

Anin | Suara Senar Nirwana ⑇
5 min readJan 15, 2025

--

Sebuah pengalaman dari ruang kelas di Universitas di Swedia.

Hari pertama perkuliahan itu, aku datang dengan semangat tinggi untuk memulai kembali kehidupan menjadi seorang mahasiswa. Tentu saja aku juga sudah membaca semua bahan bacaan yang ditetapkan untuk hari itu dari jauh-jauh hari hingga aku baca kembali malam sebelumnya. Aku datang dengan penuh kepercayaan diri bahwa aku bisa mengikuti diskusi di ruang kelas dengan baik dan membawa opiniku sendiri. Kenyataannya, cukup 1 sesi kelas untuk membuktikkan bahwa aku salah.

Datang dari Indonesia, memiliki bahan bacaan yang wajib dibaca sebelum kelas dimulai rasanya tidak awam — atau kita yang tidak pernah menghiraukan. Selama aku berkuliah S1 di ITB, kita kerap mendapatkan informasi tentang perkuliahan yang akan datang, materi apa saja yang harusnya dibaca, dan bagaimana kita harus mempersiapkan diri. Tetapi yang terjadi padaku adalah, dengan semua love-hate relationship yang aku miliki dengan SBM-ITB, aku tidak pernah serius membaca materi itu sebelum kelas tetapi aku tetap bisa mengikuti jalannya perkuliahan dan diskusi di dalam ruang kelas dengan baik. Seisi kelas pun nampaknya demikian — antara kami yang membaca ataupun tidak, tidak begitu siginifikan perbedaannya di ruang kelas.

Ternyata, tidak demikian dengan perkuliahan di sini.

Perbedaan Kemampuan dan Kebiasaan

Pada saat itu, aku tidak tahu bagaimana, tetapi di ruang kelas teman-temanku dapat membawa poin diskusi yang tidak ada di bahan bacaan yang diberikan. Di kelas pertama itu, banyak teman-temanku yang bisa menanyakan tentang hal A (yang ada di bahan bacaan) dan kaitannya dengan hal B (yang tidak ada di bahan bacaan). Ini jelas menunjukkan bahwa dia sudah membaca banyak sumber, bahkan jauh dari yang ditetapkan. Tidak berhenti sampai disana. Teman-temanku juga bisa mempertanyakan pernyataan yang ada di bahan bacaan dengan dasar argumen berbeda dari ilmuan lainnya; lagi-lagi, menunjukkan bahwa dia sudah membaca banyak hal diluar yang ditetapkan untuk ruang kelas tersebut.

Kebiasaan membaca ini merupakan sesuatu yang aku rasa tidak dibangun selama aku menempuh pendidikan di Indonesia. Iya betul, dari berbagai jenjang pendidikan di Indonesia, tidak pernah kita tidak disuruh membaca. Tapi yang juga tidak pernah dilakukan adalah diberi pemahaman akan pentingnya membaca dan bagaimana memahami suatu bacaan sehingga membaca bukan sekadar membaca, tetapi juga memahami implikasi akan suatu hal. Kerap ketika kita membaca informasi seperti A adalah B, kita tidak diajak untuk berpikir mengapa A tidak C, misalhnya.

Hal ini diperparah dengan kebiasaan untuk tidak bertanya.

Saat S1, ada 2 hal tentang bertanya di ruang kelas: pertama, akan ada ‘judgement’ yang kurang lebih bernada “masa begitu saja tidak tahu”. Kedua, durasi kelas menjadi sedikit lebih lama karena biasanya sesi tanya jawab ada di akhir yang kerap memotong waktu istirahat. Perihal “Masa begitu saja tidak tahu” juga masih aku dengar dari teman Indonesia yang ada di Swedia ketika teman-teman di kelasnya memberikan pertanyaan. Padahal, memang kenapa? Bukankah pada akhirnya, tidak menjadi masalah jika kita tidak tahu apa-apa, namanya sekolah ya tempat untuk belajar. Mental seperti ini bukan untuk dipelihara karena dapat menjatuhkan mereka yang ingin bertanya karena benar-benar tidak tahu.

Setelah aku perhatikan, teman-temanku bertanya juga memiliki alasan lain selain karena mereka tidak tahu. Pertama, mereka bisa saja sudah tahu jawabannya tetapi mereka ingin mendapatkan validasi apakah pemahaman mereka itu benar atau tidak. Kedua, mereka sudah tahu jawabannya tetapi dosen atau sumber lain ada yang mengatakan hal berbeda sehingga pertanyaan itu dijadikan untuk pembuka diskusi.

Selama aku menempuh pendidikan di Indonesia, aku tidak pernah merasa mendapatkan situasi yang sangat mendukung untuk bertanya; terlebih, ada rasa malu untuk bertanya dan ini dibangun atas dasar pikiran yang merendahkan “masa begitu saja tidak tahu” serta rasa tidak enak karena akan memakan waktu. Terlebih, pertanyaan juga seringkali menjadi bentuk mempertanyakan apa kata guru atau dosen, yang di Indonesia, ini rasanya tabu sekali.

Di sini, kami bebas untuk mempertanyakan apapun termasuk perkataan dosen sekalipun, bahkan argumen yang ada dalam sebuah publikasi sekalipun. Sebagaimana dosenku selalu menekankan,

“We’re human too. We, too, can make mistakes”

Perbedaan kebiasaan dan kemampuan ini membuat aku sempat merasa sangat tertinggal dari teman-teman perkuliahanku di sini. Sering di ruang kelas ketika teman-temanku bertanya, aku betanya-tanya bagaimana mereka bisa sampai pada mempertanyakan hal tersebut — yang jawabannya adalah jelas, mereka membaca banyak hal dan memahaminya.

Perbedaan budaya dalam bertanya juga menjadi sangat signifikan. Aku ingat, aku baru mengangkat tanganku untuk yang pertama kali, memberanikan diri untuk bertanya, di pertemuan ke-6 setelah melakukan banyak observasi akan kebiasaan teman-temanku di ruang kelas. Yang aku pelajari juga pada akhirnya, kemampuan bertanya dapat menunjukkan kemampuan berpikir seseorang — karena kalau tidak berpikir, lalu bagaimana dia bisa mempertanyakan hal tersebut?

Setelah berdiskusi dengan teman-teman Indonesia yang juga ada di sini, ternyata aku tidak sendirian. Melihat pola yang sama dari teman-teman Indonesia di berbagai program, aku memahami bahwa permasalahan ini letaknya bukan pada diriku pribadi — melainkan pada sistem yang ada.

Sebagai konteks, aku suka membaca sejak SMP. Di SMA, aku menjadi juara kelas tetap dari kelas X sampai XII. Di perkuliahan S1, aku juga lulus dengan predikat cumlaude. Aku sebagai orang yang biasa membaca dan bahkan suka dengan belajar ternyata tetap kaget dengan kompetisi yang ada di sini, aku sampai mempertanyakan kemampuanku dan kelayakkan aku berada di program ini atau sekarang dikenal sebagai imposter syndrome.

Sistem pendidikan di Indonesia masih sangat jauh dengan sistem pendidikan di sini. Kalau kamu memahami tulisan ini lebih dalam lagi, ada masalah yang sangat besar di sini. Aku berkuliah di ITB, salah satu universitas ternama di Indonesia, dan masih merasa kemampuan membaca dan bertanyaku sangat kurang. Aku juga besar di salah satu kota di Jawa Barat dan menepuh pendidikan SMA di salah satu yang terbaik di kota tersebut. Terpikirkan kah olehmu bagaimana parahnya bagi mereka yang bersekolah di pelosok dengan kualitas yang jauh dari rata-rata kualitas pendidikan di Jawa? Memikirkan hal ini, aku merasa sangat miris dengan pendidikan di Indonesia yang bukan saja masih tertinggal, tetapi juga ada kesenjangan.

Ada banyak alasan mengapa pendidikan di Indonesia menurutku bisa setertinggal ini. Tapi itu, untuk tulisan lain kali. Tulisan ini aku sampaikan untuk menaruh perhatian bahwa

  1. Membaca dan memahami apa yang kita baca itu tidak sama.
  2. Bertanya itu tidak apa-apa.

Mari kita biasakan membaca dengan kritis dan mempertanyakan hal yang perlu dipertanyakan itu. Love,

Anin

--

--

Anin | Suara Senar Nirwana ⑇
Anin | Suara Senar Nirwana ⑇

Written by Anin | Suara Senar Nirwana ⑇

A Muslim | Environment & Sustainable Development Policy student-researcher. Love to turn my experiences and perspectives into writings. IG: @annindsa 🍉✨🇮🇩

Responses (3)