Manasik Umrah & Haji Harus Lebih Dari Sekedar Tata Cara Umrah & Haji saja.
Agar kita sebagai salah satu negara dengan populasi muslim tertinggi, sebagai jamaah yang kerap mendominasi tanah haram, sebagai umat muslim pada intinya tidak memalukan diri sendiri.
Perjalananku kemarin adalah perjalanan kedua ku menggunakan agen travel untuk bersafar ke tanah haram. Akan tetapi, perjalanan pertamaku terjadi pada tahun 2016, ketika aku berusia 18 tahun yang sayangnya pada saat itu belum sepenuhnya paham makna beribadah di tanah haram dan tidak begitu memperhatikan sekitar — hanya banyak mengikuti apa kata orang tuaku. Itu juga merupakan pengalaman pertamaku berpergian menggunakan paspor.
Perjalananku kali ini, aku sudah lebih dewasa dan lebih sadar — lebih memperhatikan sekitar. Sehingga, bisa dibilang meski sudah pernah dua kali bersafar bersama agen travel dan tur untuk umrah, baru kali ini aku benar-benar merasa gerah dan perlunya ada perubahan dari agen-agen travel dan tour umrah. Secara singkat, aku berpendapat bahwa:
Manasik Haji dan Umrah harus berisi lebih dari sekadar tata cara Haji dan Umrah.
Memang aku belum berhaji, namun umrah yang kerap dianggap ‘haji kecil’ saja sudah memberikan aku gambaran yang cukup bagaimana sebaiknya travel & tour yang membawa jamaah bersafar untuk menunaikan Haji dan Umrah memberikan pengetahuan lebih dari apa yang sudah dilakukan.
Berdasarkan observasiku, safar untuk umrah saja diisi oleh banyak orang tua yang mungkin sekali baru saat itu menempuh perjalanan sejauh ini: menggunakan pesawat, ke luar negeri, dan bersafar untuk beribadah. Ada banyak hal yang baru pertama kali mereka lakukan dan temui dalam safar kali ini sehingga wajar sekali jika banyak ketidaktahuan dari mereka. Sayangnya, ketidaktahuan ini tipis perbedaannya dengan ketidakpedulian yang kerap membuat citra jamaah umrah dan haji dari Indonesia dipandang kurang baik. Tulisan ini akan aku bagi ke dalam 5 bagian akan beberapa aspek tambahan yang bisa agen travel & tour tambahkan dalam materi manasik — bahkan kalau bisa, buat lah manasik itu tidak selesai dalam satu kali duduk, buat lah seperti program persiapan agar jamaah Indonesia yang berangkat ke tanah suci dapat membawa nama baik Indonesia.
1. Di Bandara Keberangkatan, Pesawat, dan Bandara Kedatangan.
Untuk kebanyakan dari mereka, perjalanan kali ini juga merupakan titik pertama mereka datang ke Bandara, menaiki pesawat, dan menginjakkan kakinya di tanah asing. Tata cara bertindak dan berprilaku di bandara kerap terlewatkan oleh tim pada saat manasik sehingga tidak jarang banyak jamaah Indonesia yang berprilaku tidak sesuai seharusnya.
Seperti misal pada saat di Bandara banyak yang tidak tahu barang apa yang harus dilepas pada saat melalui Xray, banyak juga yang tidak tahu aturan barang apa saja yang boleh dan tidak boleh masuk ke cabin atau bagasi. Mungkin ketika di Bandara hal ini cukup bisa dimitigasi oleh petugas bandara yang memberi tahu mereka. Akan tetapi, perjalanan di pesawat merupakan satu hal yang lain.
Ketika di pesawat, jamaah akan duduk dalam jangkauan yang cukup luas (tergantung jumlah jamaah) dan beberapa mungkin jauh dari pembimbing perjalanan mereka. Aku menyaksikannya sendiri, ada banyak sekali penumpang yang tidak tahu bahwa mereka harus menggunakan sabuk pengaman sampai diberitahu oleh pramugarinya. Ada pula yang tidak tahu bagaimana cara memasang sabuk pengaman. Ok, mungkin lagi-lagi hal ini bisa saja dibantu oleh tim pramugari, sayangnya tidak berhenti di sana. Pada saat pesawaat mulai menunjukkan tanda-tanda akan landing, banyak sekali jamaah Indonesia yang langsung membuka sabuk pengamannya dan menurunkan barang dari cabin mereka — padahal, landing saja belum. Lebih berbahayanya, banyak dari jamaah ini tidak bisa menjangkau untuk menutup kembali cabin tersebut sehingga sangat beresiko untuk barang yang masih ada dalam cabin tersebut jatuh dan menimpa penumpang lain. Pramugari sudah berusaha keras untuk mengingatkan
“pak, bu, duduk dulu” tetapi tidak semua pramugari bisa berbahasa Indonesia dan sayangnya tidak semua penumpang bisa berbahasa Inggris. Penting untuk program manasik mempersiapkan jamaahnya agar tidak terburu-buru. Gemesnya itu terjadi ketika landing saja belum — tentu saja, ketika ban pesawat menyentuh landasan dan belum berhenti dengan sempurna, semakin banyak lagi penumpang yang langsung begitu saja membuka sabuk pengaman dan mengambil barang mereka — padahal kan belum bisa turun juga ya 🥲.
Pada saat turun dari pesawat, kebiasaan warga +62 yang membuang sampah sembarangan karena minimnya pendidikan dan kesadaran ini juga sayangnya terlihat di pesawat. Sungguh miris ketika aku melihat seluruh jajaran yang diisi oleh jamaah Indonesia ini dipenuhi oleh sampah! Padahal, pramugari ada berkali-kali berlalu-lalang di pesawat untuk mengumpulkan sampah. Sungguh sangat-sangat disayangkan dan memalukan, padahal salah satu nilai Islam adalah bersih dan keindahan — mereka adalah tamu Allah tapi sayangnya banyak nilai sesederhana ini yang tidak diterapkan dalam tindakan mereka. Penting bagi agen travel & tour untuk menekankan kembali nilai-nilai ini pada jamaah Indonesia.
Di bandara kedatangan, hal mulai cukup rumit kembali. Sebagaimana tidak semua bisa berbahasa Inggris dan tidak semua bisa berbahasa Indonesia, banyak jamaah yang ingin terburu-buru takut tertinggal oleh pembimbingnya sehingga menabrak jamaah lain dan membuat penumpang lain merasa tidak nyaman. Hal ini sangat disayangkan dan sangat bisa diantisipasi — tidak hanya dari jumlah pembimbing yang sesuai untuk jumlah jamaah yang berangkat, tetapi juga persiapan yang matang dari pada saat manasik.
2. Kebiasaan Meminta & Berlebih-lebihan.
Pada saat umrah kemarin, aku berkesempatan untuk tinggal di hotel bintang 3 di Madinah dan hotel bintang 5 di Makkah (alasan jarak agar lebih mudah untuk membawa Mama mertuaku). Di kedua hotel, ada banyak jamaah Indonesia yang juga menginap di sana sehingga kerap menu yang disajikan adalah menu-menu Indonesia. Perbedaan diantara bintang 3 dan bintang 5 hanyalah banyaknya jenis makanan juga tipe masakan yang disajikan, tetapi dari segi jamaahnya ada satu kesamaan yang aku perhatikan: sering mengambil makanan berlebih dan tersisa menjadi sampah.
Sungguh miris ketika jamaah ini berangkat untuk beribadah, tetapi diluar ibadah masih banyak hal-hal yang tidak mencerminkan prilaku seorang muslim. Semakin aku telisik, memang sebetulnya ini adalah kebiasaan buruk diantara warga Indonesia — kerap ketika berada di acara pernikahan pun banyak makanan terbuang begitu saja karena kita selalu mengambil berlebihan. Hal ini sungguh sangat disayangkan bisa terbawa sampai ke Tanah Haram — ketika kita seharusnya lebih sadar dan lebih bisa menahan diri. Kebiasaan ini untukku sangat memalukan karena di hotel-hotel yang diisi oleh jamaah Indonesia ini biasanya memang restorannya dikhususkan untuk jamaah Indonesia, sehingga kita bisa tahu pasti bahwa ini memang orang Indonesia yang membuang-buang makanan.
Kebiasaan buruk ini diperparah ketika aku perhatikan jamaah Indonesia juga sering meminta-minta. Di tanah haram, sering sekali ada yang berbagi kurma, jajanan, atau apapun itu yang dibagikan secara sukarela. Akan tetapi, berbagi bukan berarti kita boleh mengambil secara berlebih atau bahkan meminta-minta — karena pada dasarnya tidak sebaiknya kita meminta-minta. Ingat kata pepatah bahwa
tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.
Maka, ketika berada di tanah haram, ada baiknya kita mengambil secukupnya untuk kita jika ditawari sesuatu — menghindari sifat serakah dan kebiasaan meminta-minta.
3. Tentang ibadah lebih dari sekedar rangkaian umrah & haji.
Diriwayatkan dari Jabir Radhiyallahu Anhu, Rasulullah SAW bersabda:
“Sholat di masjidku (Masjid Nabawi) lebih baik dari 1000 (seribu) kali sholat di masjid lainnya kecuali di Masjidil Haram, Makkah, dan sholat di Masjidil Haram lebih baik dari 100.000 (seratus ribu) sholat di masjid lainnya.”
(HR Ibnu Majjah, dishahihkan oleh Al-Bani).
Sayangnya, masih banyak jamaah umrah dan haji dari Indonesia yang datang ke masjid hanya untuk shalat wajib, padahal ada banyak ibadah yang bisa dilakukan seperti shalat tahiyyatul masjid begitu datang ke masjid, perbanyak tawaf ketika berada di Makkah, serta shalat sunnah lainnya.
Terlebih, baik di Masjidil Nabawi maupun di Masjidil haram, sering bahkan hampir selalu setiap selesai shalat ada shalat jenazah — sayangnya ketika aku berada di sana, banyak sekali jemaah Indonesia yang langsung beranjak dari tempatnya untuk pergi keluar masjid atau bahkan tidak berdiri sama sekali dan fokus berdoa padahal pahala shalat jenazah sebesar setengah gunung uhud.
Barangsiapa shalat jenazah dan tidak ikut mengiringi jenazahnya, maka baginya (pahala) satu qiroth. Jika ia sampai mengikuti jenazahnya, maka baginya (pahala) dua qiroth.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud dua qiroth?” “Ukuran paling kecil dari dua qiroth adalah semisal gunung Uhud”, jawab beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
(HR. Muslim no. 945)
Disamping shalat, ada kebiasaan yang sepertinya manasik pun perlu beritahu dan ajarkan — bahkan ingatkan secara berkala. Salah satunya seringkali pada shalat subuh di hari Jumat di Masjidil Haram Makkah, ada sujud tilawah di rakaat pertama. Aku mengalami ini di hari Jumat kemarin namun sayangnya terlihat dari ujung mata, barisan sebelah kananku yang mana adalah jamaah Indonesia mereka rukuk ketika imam bertakbir seusai membaca ayat sajadah. Hal ini sangat disayangkan padahal sangat bisa tim manasik untuk memberitahu jamaahnya.
Ada banyak hal lain yang bisa dikupas dan kemudian ditambahkan lagi ke dalam materi manasik umrah dan haji. Sungguh sangat disayangkan jika kita ke tanah haram hanya untuk menunaikan ibadah umrah dan haji saja sedangkan ada banyak keutamaan beribadah di sana.
Salam,
Anin