Ibu Kota Nusantara: Atas Nama Pembangunan?
Sebuah opini pribadi dan intro ke topik master thesis.
Ibu Kota Nusantara (IKN) muncul atas nama pemerataan pembangunan. Presiden Joko Widodo mengumumkan rencana memindahkan Ibu Kota di tahun 2019 karena beberapa alasan. Salah satu yang kerap dibahas di berbagai media adalah karena Jakarta sudah tidak lagi layak untuk menjadi Ibu Kota. Beragam masalah dari kemacetan, polusi, penduduk terlalu padat, banjir, hingga ancaman Jakarta tenggalam menjadi salah satu pendorong untuk memindahkan Ibu Kota dari Jakarta (Baca: Oxford Economics, “A Capital is Born”, CNBC Access ASEAN: Why It Won’t be Easy to Move the Capital, Kemenkeu: “Urgensi Pemindahan Ibu Kota”).
Keputusan untuk kemudian memindahkan ibu kota ke sebrang pulau Jawa didorong oleh alasan tambahan. Dengan Jakarta berlokasi di Pulau Jawa, banyak pembangunan sejauh ini terjadi di pulau Jawa dan kerap menjadi perbincangan “jawasentris”. Masyarakat dari beragam daerah kerap berbondong-bondong ke pulau Jawa, terutama Jakarta, untuk mencari kehidupan yang lebih layak. (Baca: Edelman & Gunawan, “Managing the Urban Environment of Jakarta, Indonesia”). Kalimantan dipilih atas nama pemerataan pembangunan. Dengan memindahkan Ibu Kota ke pulau di sebrang Jawa, pemerintah berharap untuk menurunkan kesenjangan pembangunan, serta kesenjangan antar pulau (Baca: Komdigi: “Alasan utama pembangunan IKN adalah pemerataan”). Tapi, pertanyaan utamanya, pemerataan untuk siapa? Bagaimana dengan perencanaannya? Apakah ada mitigasi untuk dampak yang kemungkinan terjadi?
“Kan belum selesai, gausah kritik-kritik sih.”
Pemindahan Ibu Kota ke IKN merupakan satu bentuk kebijakan. Kebijakan, boleh dikritik. Mengkritik kebijakan bukan berarti tidak mendukung kebijakan tersebut. Mengkritik kebijakan bisa jadi suatu bentuk untuk memastikan kebijakan tersebut berada di koridor yang tepat, sesuai dengan apa yang menjadi janji-janjinya. Mengkritik kebijakan tidak selalu ketika kebijakan itu sudah selesai, tetapi bisa juga sebelum kebijakan itu dijalankan (Baca: Ex ante & Ex post Policy Analysis). Kalau kamu masih mempertanyakan “Apa iya IKN adalah kebijakan?”, tahukah kamu bahwa ada UU IKN yang dirumuskan hanya dalam 43 hari? Ini sangat cepat dan minim pelibatan masyarakat dalam diskusinya. (Coba google: “Berapa lama perumusan UU IKN?”).
“Ngapain kritik kalau di rumah saja masih buang sampah sembarangan”
Seseorang tidak perlu sudah menjadi tuhan untuk bisa mengkritik. Seseorang, tidak perlu sudah melakukan semua hal dari A sampai Z untuk bisa memberikan pendapatnya. Betul, aksi personal juga penting untuk mewujudkan lingkungan yang lebih berkelanjutan — tetapi hitung menghitung personal carbon footprint tidak akan memberikan dampak yang lebih masif dibandingkan dengan sebuah kebijakan besar.
IKN dalam prosesnya sudah mengubah fungsi lahan dengan deforestasi yang masif. Kritik yang ada dari berbagai media, peneliti, serta aktivis bertujuan untuk memastikan pembangunan IKN berada dalam koridor yang tepat. Meski IKN mengubah lahan kawasan hutan produksi dan bukan hutan lindung, dalam prosesnya tetap ada karbon yang dilepas, mengurangi kawasan serapan karbon, dan mengancam habitat untuk keanekaragaman hayati yang ada di sana. (Baca: Forest Digest, East-west Center Asia Pacific, Forest Watch Indonesia, Majala Tempo)
“Lalu, apakah ini artinya pemerintah tidak boleh membangun demi menjaga hutan?”
“Bukankah kota-kota besar yang kini berdiri dulunya juga adalah hutan?”
Isu lingkungan bukan sekedar narasi yang dibangun oleh ‘barat’ untuk menghambat pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang. Isu lingkungan itu nyata adanya. Mengambil contoh kota besar yang dibangun pada zaman dahulu kala seperti New York, Roma, atau kota lainnya untuk menjadi justifikasi perusakan alam demi membangun kota sangatlah tidak relevan. Kota besar yang hari ini hadir dibangun ketika masalah penduduk serta lingkungan belum se-mengkhawatirkan hari ini. Secara historis, pembangunan masif yang tidak memikirkan dampaknya dikemudian hari adalah salah satu pendorong terjadinya perubahan iklim serta pemanasan global hari ini.
Kondisi bumi kita sudah tidak baik-baik saja mulai dari adanya satwa yang punah, terumbu karang yang memutih, bahkan sampai kota-kota terancam tenggelam seperti Jakarta. Terlebih, kenyataannya, negara berkembang lebih terancam oleh perubahan iklim dan pemanasan global (Baca: Climate Change, Global Warming and Global Inequity in Developed and Developing Countries, Climate Change in Developing Countries: Global Warming Effects, Transmission Channels and Adaptation Policies, UNFCCC IMPACTS, VULNERABILITIES AND ADAPTATION IN DEVELOPING COUNTRIES). Menyoroti isu lingkungan dalam pembangunan IKN menjadi penting untuk memastikan pembangunan ini sejalan dengan target penurunan emisi Indonesia serta komitmennya dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.
Terlebih, jika netizen kerap bertanya “Kamu sendiri hitung gak carbon footprint dari aktivitas kamu?” Bukankah menjadi layak juga kita mempertanyakan ‘carbon footrpint’ dari pembangunan ini dan meminta pemerintah untuk melakukan offsetting? Sungguh lucu terkadang netizen. Ketika masyarakat menuntut pemerintah untuk tetap berada di koridor yang tepat, isu personal yang tidak lebih signifikan justru diangkat. Okelah aksi individu juga penting, tapi lalu mengapa tidak mempertanyakan hal yang sama ke pemerintah?
“Orang Kalimantan juga mau pembangunan, masa Jawa terus!”
Well, no one is against the idea of closing the gap of inequality.
Lagi, mengkritik pembangunan IKN bukan berarti tidak mendukung penyerataan pembangunan di Indonesia. Mengkritik IKN bisa jadi satu bentuk untuk memastikan bahwa pembangunan ini tidak akan menciptakan kesenjangan lainnya. Karena salah satu isu yang sudah nyata adanya bahkan sebelum IKN benar-benar berdiri adalah adanya masyarakat adat yang tergusur dari tempat tinggalnya. Lantas, apakah ini masih jadi pemerataan jika hak-hak masyarakat adat tidak terpenuhi?
Pembangunan IKN sangatlah teknokratis dan tidak melibatkan masyarakat yang terdampak oleh pembangunan tersebut. Masyarakat adat banyak yang sudah tergusur dan tidak dilibatkan dalam diskusi perencanaan pembangunan IKN. Biaya hidup di IKN juga tidak semata-mata dapat dipenuhi oleh masyarakat yang sebelumnya sudah ada di sana. Mengingat kemungkinan akan ada kehadiran masyarakat dari Jawa atau bahkan Singapura yang tinggal di IKN, persaingan bisa menjadi semakin ketat dan justru menciptakan ketimpangan yang lebih besar. Riset membuktikan bahwa masyarakat yang tergusur karena alasan pembangunan justru semakin rentan untuk jatuh ke jurang kemiskinan. Lantas, pembangunan IKN di Indonesia untuk memeratakan pembangunan atau menutup kesenjangan ini untuk siapa? (Baca: Displacement and Gentrification in Borneo — The Political Ecology of Indonesia’s New Capital City, ‘Like we don’t exist’: Indigenous fear Indonesia new capital plan, Terancam Digusur Paksa, Masyarakat Adat di IKN Hampir Punah, Masyarakat Adat di Penajam Paser Utara Tergusur Oleh Pembangunan IKN, Deretan Masyarakat Adat yang Terkena Penggusuran Oleh Otorita IKN)
Memberikan kritik terhadap pembangunan IKN justru memiliki fungsi untuk memastikan akuntabilitas klaim pembangunan ini. Jika memang pembangunan IKN bertujuan untuk membangun daerah lain di Indonesia agar tidak lagi ‘Jawasentris’, maka pemerintah perlu menunjukkan hal demikian dalam prosesnya. Sayangnya, dalam penyusunan UU yang dikebut selama 43 hari itu saja masyarakat adat yang terdampak oleh pembangunan IKN ini saja tidak dilibatkan. Lantas, dimana letak pemerataannya?
Ada banyak isu ketimpangan di Indonesia. Jika pembangunan ibu kota adalah satu-satunya cara untuk menutup ketimpangan tersebut, lantas bagaimana dengan wilayah lain yang juga masih tertinggal pembangunannya? IKN boleh saja menjadi satu alasan untuk memeratakan pembangunan, tetapi pemerintah juga perlu memberikan perhatian lebih terhadap isu lain yang juga jatuh pada kategori ketimpangan sosial. Mulai dari timpangnya kualitas pendidikan antara mereka yang ada di Jawa dan luar Jawa, sampai perbedaan upah serta infrastruktur, jika pemerintah memang ingin memeratakan pembangunan, bukankah isu-isu ini juga sudah sepatutnya mendapat perhatian yang sama? (Baca: Fenomena Kemiskinan di Pulau Kalimantan, Kesenjangan Pendidikan di Kalimantan Timur, Berbagai Faktor Jadi Penyebab).
“Lalu, tidak bolehkah IKN dilanjutkan?”
Pengamat kebijakan, peneliti, serta jurnalis memiliki argumen yang berbeda tentang ini. Aku pribadi berpendapat bahwa memang Jakarta sudah tidak layak lagi menjadi Ibu Kota — Pemerintah setempat perlu fokus menyelesaikan satu-persatu permasalahan yang ada di Jakarta sekalipun Jakarta sudah tidak menjadi Ibu Kota. Perpindahan Ibu Kota bukanlah hal yang baru — justru karena demikian, Indonesia perlu banyak belajar dari negara lain yang pernah memindahkan Ibu Kota nya seperti Brazil, Nigeria. Isu lingkungan hari ini merupakan satu hal yang kompleks yang tidak boleh dipandang sebelah mata dalam sebuah pembangunan. Isu keberlanjutan, lebih luas lagi, tidak berhenti semata dalam isu lingkungan.
Isu keberlanjutan juga menaruh perhatian terhadap aspek-aspek lain termasuk aspek sosial. Isu keberlanjutan membawa kita untuk memperhatikan juga bagaimana dampak suatu pembangunan terhadap golongan tertentu, atau kini dikenal dengan konsep “Sustainability Justice”. Tidak terlibatnya masyarakat adat dalam perencanaan IKN sudah menjadi tanda tanya besar tersendiri dalam aspek keberlanjutan IKN. Meski klaim IKN adalah kota hijau dan kota sustainable, jika ada kelompok yang dirugikan, apakah masih menjadi sustainable?
Pemerintah sejauh ini memutuskan untuk melanjutkan pembangunan IKN. Untuk terus memastikan IKN mencapai cita-cita yang dibawa, kritik yang membangun tidak boleh ditutup. Pembangunan tidak selalu harus mengorbankan aspek lingkungan, kok. Ada banyak cara yang bisa diterapkan dalam pembangunan IKN salah satu yang ingin aku lakukan adalah menginternalisasi biaya-biaya eksternal.
Pembangunan IKN tidak bisa dipungkiri telah menciptakan dampak yang masif. Perdebatan bahwa IKN suatu hari akan menguntungkan dan dampak-dampak ini menjadi terjustifikasi merupakan satu hal yang butuh bukti pendukung lebih. Manfaat IKN memang baru akan terasa di masa mendatang, tetapi biaya untuk membangun IKN bisa dilihat dari sekarang. Biaya itu bisa dihitung dari sumberdaya yang memang bisa diperjual belikan seperti bahan bangunan, biaya konstruksi, dan tenaga kerja — bisa juga dihitung dari sumberdaya yang tidak bisa diperjualbelikan seperti dampak lingkungan dan dampak penggusuran masyarakat adat.
Intro to my master thesis.
Beragam riset telah menunjukkan bahwa adanya dampak penggusuran masyarakat adat atas dibangunnya IKN. Sederhananya, thesis aku akan mengkuantifikasi dampak yang dirasakan oleh masyarakat adat yang disebabkan oleh pembangunan IKN. Kuantifikasi ini akan berupa biaya atau nilai rupiah agar dapat diinternalisasi menjadi salah satu biaya pembangunan IKN. Hal ini menjadi penting agar ketika berbicara perihal biaya pembangunan IKN, aspek eksternal juga ikut diperhitungkan untuk menunjukkan ‘true cost’ dari pembangunan IKN ini. Kelak, ketika berbicara tentang manfaat IKN, untuk memastikan proyek ini menguntungkan bagi semua, manfaatnya pun harus lebih besari dari biaya ini.
IKN sebagai perjalanan panjang.
Pembangunan IKN diprediksi baru akan selesai dalam tahun-tahun mendatang. Mengkritik proses IKN bukan berarti tidak mendukung pembangunan, apalagi tidak menginginkan masyarakat di sana merasakan hak-haknya sebagai warga Indonesia. Mengkritik IKN bisa menjadi sinyal kepada pemerintah untuk tetap berada di koridor yang tepat sesuai dengan klaim dan janjinya. Thesis ku bermaksud untuk memberikan pemerintah gambaran biaya nyata dari pembangunan yang menginternalisasi biaya eksternal. Tidak ada sedikitpun niat untuk tidak ingin melihat Kalimantan juga maju. Tidak ada sedikitpun keinginan untuk tidak memajukan Indonesia. Tetapi untuk memastikan pembangunan ini berkelanjutan serta menjadi bagian akuntabilitas sebuah kebijakan, masyarkat memiliki peran penting untuk memastikan kebijakan itu sesuai dengan janji-janjinya.
Jadi, mari kita kawal sama-sama pembangunan IKN ini. Karena sayangnya, sejauh ini, riset membuktikan bahwa pembangunan IKN sudah memiliki dampak buruk yang masif. Mari kita kawal sama-sama pembangunan IKN ini. Agar janji untuk memeratakan pembangunan itu, agar pertumbuhan ekonomi tidak lagi ‘Jawasentris’ itu dapat benar-benar terwujud.