3 Tahap Untuk Menemukan Alasanmu yang Sebenarnya Untuk Menempuh Studi S2.
Sebuah tulisan tentang bagaimana menemukan alasan untuk menempuh studi S2 dan menerjemahkannya ke dalam esai pendaftaran.
Dalam perjalananku mendaftar untuk S2, salah satu momen tersulit yang kerap terjadi dalam setiap proses pendaftaran adalah menerjemahkan rasa ingin untuk menempuh pendidikan lebih lanjut menjadi tulisan yang menjelaskan alasan logis mengapa kita ingin mendaftar ke program tersebut. Hal ini juga kerap ditanyakan oleh teman-teman yang esainya aku bantu ulas, perihal
“gimanasih nulis alasan kenapa kita daftar ke kampus/program ini? aku tau aku mau tapi gatau gimana menulisnya”
Setelah tiga kali mendaftar hingga akhirnya diterima, juga hasil berbincang dengan beberapa rekan yang berencana mendaftar S2, ada satu hal yang aku temui:
Kebanyakan dari kita ‘ingin’ untuk menempuh pendidikan lebih tinggi, bukan ‘butuh’.
“Ingin” menempuh studi lebih tinggi tidak sama dengan “butuh”.
Merupakan suatu hal yang baik jika kita sudah memiliki keinginan untuk menempuh studi lebih tinggi, tetapi ingin saja tidak cukup. Untuk meyakinkan pihak kampus, beasiswa, atau bahkan program secara spesifik, kita perlu menunjukkan bahwa kita butuh untuk menempuh studi S2 dan kita perlu berada di kampus dan program yang kita tuju tersebut. Dalam mengidentifikasi kebutuhan tersebut, ini 3 hal yang aku lakukan dan kerap aku sarankan kepada teman-temanku untuk lakukan juga agar kita dapat menyusun esai pendaftaran S2 lebih mudah.
1. Identifikasi hal-hal yang kamu sukai
Lepaskan dirimu dari program, kampus, dan negara yang ingin dituju dan fokus benar-benar pada apa yang kamu sukai.
Apa yang sebenarnya membuatmu tertarik?
Hal apa yang kerap membuat kamu bersemangat?
Aspek apa saja yang kamu cari dan inginkan dalam hidup?
Ada banyak rangkaian pertanyaan yang bisa ditanyakan dalam mengidentifikasi hal yang kamu sukai. Untuk hal ini, aku banyak dibantu oleh IKIGAI, baca tulisanku tentang IKIGAI di sini.
Mengidentifikasi hal yang kamu sukai akan kembali membawamu pada hal-hal yang benar-benar membuat kamu bergairah, passionate. Dengan cermat dan perlahan mengidentifikasi ini, kamu akan dengan mudah mengeliminasi fomo — atau rasa keharusan untuk menempuh studi sekedar karena kampus tersebut bergengsi. Kamu akan bisa kembali mengarahkan tujuan kamu sesuai dengan hal-hal yang kamu sukai, things you’re passionate about.
2. Rangkai cita menjadi rangkaian cita-cita.
Setelah mengetahui hal-hal yang kamu sukai, tuliskan tujuan utamamu dalam jangka panjang: hal apa yang kamu inginkan?
Rangkai cita tersebut menjadi rangkaian cita-cita — artinya, kamu menuliskan tahapan-tahapan yang akan perlu kamu lalui untuk mencapai cita-cita tersebut. Tuliskan rangkaian cita-cita yang bekaitan dengan hal tersebut, sedetail mungkin berkaitan dengan apa yang kamu inginkan. Kerucutkan cita-cita tersebut dan pilih beberapa yang berkaitan dengan aspirasi pendidikan dan karir.
Ambil waktu yang cukup dan renungkan dengan dirimu untuk sejenak,
untuk mencapai cita-cita tersebut, apa yang perlu dicapai?
3. Temui “gap” yang hanya dan hanya bisa diisi oleh studi lebih tinggi.
Setelah menentukan cita-citamu, lakukan evaluasi diri saat ini vs versi dirimu yang mencapai cita-cita tersebut. Dari proses identifikasi ini kamu akan bisa melihat pengetahuan dan kemampuan apa yang sudah kamu miliki dan apa yang masih kamu butuhkan — belum kamu miliki: The gap.
Gap untuk mengisi cita-cita itu bisa diisi oleh apa saja. Dalam hal pendidikan, tidak selalu melulu harus oleh S2: bisa saja oleh sertifikasi, pelatihan, atau mungkin cukup dengan online course. Dalam perihal mendaftar untuk S2, maka carilah alasan kuat bahwa gap tersebut hanya dan benar-benar hanya bisa diisi oleh pendidikan lebih tinggi.
Tulis sesuai keinginan hati karena jika dalam penulisan ini ternyata teridentifikasi bahwa kita tidak membutuhkan pendidikan lebih tinggi, maka jangan dipaksakan.
Berikut adalah caraku menemukan alasan kuat untuk menempuh studi S2 yang meyakinkan programku bahwa aku layak untuk masuk ke program ini.
Mimpiku adalah untuk hidup berkecukupan sambil tetap memberikan manfaat dan makna bagi lingkungan sekitarku. Aku pribadi tertarik dengan isu keberlanjutan, terutama dalam aspek keberlanjutan lingkungan, kesetaraan gender, dan kesejahteraan serta ketimpangan sosiaal. Disamping isu yang aku memiliki ketertarikan pribadi, secara pekerjaan, aku suka menjadi seorang peneliti, penulis, dan banyak membaca.
Dengan bantuan IKIGAI, aku dapat mengidentifikasi bahwa aku sebenarnya ingin menjadi seorang peneliti dan konsultan yang bergerak di bidang bisnis berkelanjutan — menyangkut aspek lingkungan, gender, dan kesejahteraan sosial.
Dari identifikasi tersebut, aku melihat bahwa ada ‘gap’ pengetahuan dan skill yang masih aku butuhkan. Aku memiliki kemampuan riset pasar, produk, dan user serta aku memiliki pengetahuan perihal bisnis sebagaimana itu adalah program sarjanaku. Akan tetapi, aku tidak memiliki pengetahuan terkait ilmu lingkungan, isu kesetaraan gender dan kesejahteraan sosial.
Sebagaimana bidang ini adalah hal yang kerap diperdebatkan dan juga ada banyak sudut pandang yang bisa dipelajari, aku merasa sertifikasi dan belajar mandiri via online saja tidak cukup — aku membutuhkan rekan sparring yang bisa mengkritisi pemikiranku dan aku pun bisa belajar mengkritisi pemikirannya. Hal ini bisa aku dapatkan dalam sebuah forum pendidikan — sebuah kelas, dan maka dari itu S2 adalah kebutuhan bagiku untuk mencapai cita-citaku. Aku juga memerlukan sosok seorang guru yang pandangannya bisa aku dengar langsung — dalam hal ini profesorku di programku sekarang adalah orang-orang yang tepat yang aku butuhkan untuk mempertajam pengetahuanku di bidang ini.
Setelah berhasil mengidentifikasi kebutuhan dan kamu melihat bahwa S2 itu lebih dari sekedar rasa ingin, kamu akan lebih bisa mencari program dan kampus yang akan menjawab kebutuhan kamu.
Layaknya produk yang ada di pasar, program S2 dikemas dengan kampus dan negara kampus tersebut berada, ada banyak sekali variannya. Tetapi, tidak semua produk cocok untuk menjawab kebutuhan kamu. Dengan demikian memahami bahwa adanya kebutuhan untuk S2 ini akan menghindari kita juga dari rasa sekedar fomo harus S2, apalagi fomo harus sekolah di kampus bergengsi padahal itu tidak sesuai dengan kebutuhan.
Menyadari hal ini juga yang membuat aku yakin untuk memprioritaskan Lund University di Swedia meskipun kampus ini bukan top 10 kampus di dunia — karena program di kampus ini memiliki jawaban untuk hal yang aku butuhkan.
Nanti, aku ceritakan lebih lanjut tentang banyaknya yang S2 hanya untuk fomo. Untuk sekarang, sekian dulu.
Hejdå,
Anin